Jumat, 04 Juni 2010

Resensi dan Referensi

Karya Ilmiah :

PENGKAJIAN PEMUSATAN PENGEMBANGAN KOPERASI
BIDANG PEMBIAYAAN PADA TINGKAT KABUPATEN/KOTA

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis ekonomi nasional tahun 1997 masih menyisakan dampak negatif hingga kini, termasuk bagi UKM dan usaha mikro, yaitu menyebabkan antara lain : (1) turunnya daya beli konsumen, dikarenakan semakin berkurangnya/langkanya usaha-usaha yang dimiliki konsumen sebagai sumber pendanaan; (2) menurunnya kualitas produk-produk UKM dan usaha mikro sebagai akibat rendahnya kualitas SDM serta berkurangnya sumber-sumber pendanaan yang dimiliki pengusaha kecil dan menengah dan mikro. Salah satu permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil menengah dan mikro dalam mengembangkan usahanya adalah kecilnya modal usaha yang dimiliki dan rendahnya kemampuan untuk mengakses ke lembaga keuangan, baik lembaga keuangan perbankan (BRI, BPR, dll) maupun lembaga keuangan non bank (KSP/USP Koperasi, penggadaian, lembaga keuangan non formal, dll). Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, sebagai upaya pengembangan UKM dan usaha mikro, maka pengembangan lembaga keuangan mikro seperti KSP/ USP Koperasi melalui pemberdayaan dan berbagai regulasi peraturan merupakan konsekuensi logis yang harus dilakukan, sehingga tercipta iklim kondusif yang memungkinkan kemudahan bagi para pengusaha UKM dan usaha mikro mampu mengakses atau memanfaatkan dana dan berbagai lembaga keuangan mikro tersebut.

*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Pengembangan Pengelolaan Wirausaha-Universitas Indonesia (BPPWI-UI) Tahun 2004 (diringkas oleh : Triyono dan Siti Aedah)


2. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

a. Identifikasi
Kegiatan ini memfokuskan pada pengembangan kerangka berfikir untuk mencari alternatif pengembangan koperasi dalam era otonomi daerah, dikaitkan dengan penyusunan model-model pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan dilakukan terhadap beberapa potensi daerah yang dapat dilayani koperasi dibidang Pembiayaan, sentra-sentra produksi rakyat yang dapat dikembangkan dan analisis terhadap daya dukung SDM, modal, lembaga keuangan dan teknologi. Berbagai hambatan dan kebijakan pendorong diantisipasi untuk menjadi dukungan dalam menkonstruksi model alternatif yang dihasilkan. Model pemusatan alternatif merupakan solusi-solusi yang dipertimbangkan dan direkomendasikan dalam rangka membangun sistem pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.

b. Batasan Penelitian
Pada prinsipnya, pengkajian dilakukan untuk memperoleh konstruksi model pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan secara nasional. Mengingat dinamika otonomi daerah yang terjadi dan berbagai kondisi masing-masing daerah mempunyai variabilitas dan heterogenitas dalam pengembangan koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam pada koperasi-koperasi, maka modelmodel yang direkonstruksikan secara substantif mengungkapkan kekuatan dan kelemahan masing-masing.
c. Rumusan Masalah
Program-program pembantuan bagi permodalan koperasi dan usaha kecil dan menengah relatif telah banyak dilaksanakan melalui pengembangan sistem keuangan, baik yang berbasis sisi kultural seperti arisan, gotong royong maupun pembentukkannya diprakarsai pemerintah seperti kredit program, serta kebijaksanaan perbankan seperti Kredit Investasi Kecil (KIK). Dalam banyak hal, walaupun menunjukkan hasil-hasil yang relatif baik, akan tetapi belum dapat dikatakan optimal. Untuk itu, diperlukan pemikiran dan pertimbangan untuk membangun model-model kelembagaan keuangan dalam bentuk pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di daerah yang mencakup kepentingan baik anggota-anggotanya dan lembaga keuangan.
3. Tujuan dan Manfaat
1) Tujuan
Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan alternatif kebijakan dalam rangka pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di tingkat Kabupaten/ Kota, sesuai dengan otonomi daerah yang berlangsung saat ini. Secara khusus tujuan kajian ini adalah : (1) menyusun model pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan tingkat Kabupaten/Kota; (2) memberikan masukan kepada Pemda Kabupaten/Kota dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan perkoperasian.
2) Manfaat
Hasil penelitian ini diharpkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pimpinan dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan pemberdayaan Koperasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

1. Landasan Kebijakan
Usaha kecil dan menengah (UKM) dan usaha mikro merupakan sumber kegiatan perekonomian sebagian besar dari rakyat Indonesia baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan yang mencakup berbagai jenis lapangan usaha, baik pertanian, perdagangan, industri dan jasa-jasa. Data BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil dan menengah di Indonesia berjumlah lebih dari 41 juta unit usaha atau mencapai 99,99% dari jumlah unit usaha di Indonesia dan telah mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 76 juta pekerja atau mencapai 99,46. Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka mendukung UKM dan pengembangan ekonomi lokal telah melaksanakan berbagai program antara lain program pengembangan sentra UKM dukungan MAP dan BDS, program pengembangan keuangan mikro melalui kompensasi subsidi BBM, serta program pengembangan di bidang peternakan, perkebunan dan sebagainya. Program-program tersebut merupakan stimulasi pembelanjaan bagi daerah, dan sisi lain sebagai upaya triggering bagi pengembangan economic and social capital di daerah melalui pengembangan ekonomi kerakyatan, yaitu koperasi dan UKM.

2. Kerangka Pemikiran
Pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada tingkat Kabupaten/ Kota pada dasarnya merupakan upaya mengkonstruksi model dalam rangka upaya dan layanan untuk mendukung pengembangan, pengendalian dan operasi KSP/USP pada tingkat Kabupaten/Kota pada suatu pusat agar diperoleh efektivitas dan efisiensi dalam pengembangan koperasi bidang pembiayaan. Pemusatan pengembangan koperasi diperlukan karena beberapa pertimbangan yang merupakan faktor penentu, antara lain :
(1) Kinerja KSP/USP sebagai koperasi sangat tergantung pada keberhasilannya dalam melaksanakan prinsip koperasi, yaitu kerjasama antar koperasi. Keberhasilan kerjasama antar koperasi memerlukan koordinasi, pendidikan dan pelatihan, pembagian kerja, dinamisasi, promosi dan kerjasama usaha yang dapat merupakan bagian dari fungsi daripada pemusatan pengembangan koperasi.
(2) KSP/USP sebagai lembaga keuangan memerlukan adanya fungsi pengawasan, pengembangan jaringan pelayanan dan pengembangan produk yang menjadi salah satu fungsi pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.

III. METODE
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian meliputi 20 propinsi yaitu : Sumut, Jatim, Bali, Sulut, Sumbar, Sultra, Kalteng, Kaltim, Sumsel, Bengkulu, Riau, NTT, NTB, Babel, Sulsel, Kalbar, Sulteng, Jabar, Jateng, Kalsel.

2. Metode dan Analisis Pengkajian
Metode pengkajian berupa studi pustaka dan pengumpulan data primer maupun sekunder yang berkaitan dengan potensi daerah yang dapat ditangani koperasi, sentrasentra produksi rakyat yang dapat dikembangkan, ketersediaan lembaga keuangan, lembaga-lembaga pendukung pengembangan KSP/USP dan perkembangan KSP/USP, serta model-model pemusatan koperasi di masing-masing Kabupaten/Kota. Kerangka pemikirannya dapat digambarkan sebagai berikut :
Faktor Pendukung (Driving Forces) Peran KSP/USP dalam Pemusatan Pengembangan Bidang Pembiayaan Kinerja KSP/USP sebagai Lembaga Keuangan Kinerja KSP/USP sebagai Koperasi Faktor Penghambat (Restraining Forces)
MODEL PEMUSATAN
KOPERASI PEMBIAYAAN
Analisis pengkajian dilakukan dengan beberapa cara, baik melalui induksi data, deduksi berdasarkan teori-teori yang relevan, maupun dengan validasi experties. Dengan demikian, analisis pengkajian lebih bersifat pendalaman berpikir kualitatif sesuai dengan keperluan untuk merumuskan model-model yang dipandang optimal bagi pengembangan
pemusatan koperasi di bidang pembiayaan. Perumusan model meliputi beberapa substansi pokok dan penting sebagai solusi pengkajian yaitu : (1) perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa keuangan, (2) perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa non keuangan, dan (3) kelembagaan pemusatannya.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kasus Kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
Sampai dengan bulan Juni 2004 jumlah KSP/USP di Kabupaten Pati sebanyak75 unit dengan anggota 59.160 orang. Dua puluh tujuh unit diantaranya termasuk dalam klasifikasi unit papan atas, 11 unit papan tengah dan 37 unit papan bawah. Bhakti Group adalah kumpulan dari beberapa koperasi yang menghimpun dirinya menjadi kelompok dengan tujuan memudahkan pengaturan likuiditas dana yang dikelola oleh masing-masing koperasi anggotanya. Bhakti Group dipimpin oleh Bapak Abdurahman Saleh dan 7 orang rekannya dalam 24 tahun berkembang dan berhasil menghimpun aset sebesar Rp. 126 milyar, sedangkan anggota yang berhasil dihimpun 143.674 orang dengan karyawan 5.000 karyawan tetap.
Adapun beberapa kiat yang dijalankan manajemen Bhakti Group untuk mencapai keberhasilannya adalah :
1. Komitmen yang kuat di tingkat top manajemen untuk membangun sebuah koperasi sesuai dengan hakekat utamanya yaitu dari anggota untuk anggota, membangun koperasi yang dilandasi dengan kejujuran dan kemajuan bersama,
baik anggota maupun pengurus.
2. Sistem prekrutan tenaga kerja dilakukan secara terpusat dan ketat baik ditinjau dari kemampuan teknis maupun non teknis.
3. Prestasi karyawan dihargai dengan baik, dimana manajemen menganut falsafah pengurus/karyawan tidak boleh miskin tapi juga tidak boleh kaya.
4. Untuk menghindari benih kecurangan, maka setiap periode tertentu diadakan rotasi antar cabang bagi karyawan, setiap karyawan baru akan disumpah untuk mau bekerja dengan jujur, jika ditemukan kecurangan, manajemen tidak akan segan-segan memecat bahkan kasusnya diajukan ke pengadilan.
5. Untuk mencegah pindahnya anggota, maka tiap anggota tidak boleh keluar masuk seenaknya. Anggota hanya diperbolehkan keluar satu kali.
6. Dana yang dikelola secara profesional sehingga anggota dapat mengambil
kapan saja.
7. Manajemen menganut falsafah mudah, cepat dan meriah, Mudah dalam arti prosedur menabung maupun meminjam dilakukan dengan semudah mungkin, bahkan dengan sistem jemput bola. Cepat dalam arti proses administrasi
iusahakan tidak bertele-tele. Meriah dalam arti jumlah tabungan pada kisaran kecil sampai menengah.
2. Kasus KSP BTM (Baitul Tamwil Muhammadiyah) di Kabupaten Pekalongan
Di Kabupaten Pekalongan terdapat koperasi yang layak dinyatakan berhasil dalam bidang KSP, bahkan telah melebarkan sayapnya ke daerah lain. Koperasi Simpan Pinjam tersebut berbentuk Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM). Didirikan tanggal 5 Januari 1996 dengan modal awal sebesar Rp. 25 juta, kelembagaan awalnya berbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di bawah Yayasan Binaan Baitul Maal Muhammdiyah (YBBMM) sebagai partisipan Proyek Hubungan Bank Indonesia dan Kelompok Swadaya masyarakat (PHBK). Dengan adanya UU Nomor 29 tahun 1999 yang antara lain mengahapus PHBK, maka kelembagaannya berubah menjadi Badan Hukum Koperasi, tepatnya Koperasi Simpan Pinjam dan dikelola dengan menggunakan sistem syariah yang berbasis pada prinsip bagi hasil. Pendirian BTM Wiradesa ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya akses permodalan bagi usaha mikro di Kabupaten
Pekalongan. Sampai dengan September 2004, dana masyarakat yang berhasil mencapai Rp. 2 milyar lebih dengan total aset Rp. 3 milyar lebih, sedangkan jumlah pinjaman yang diberikan pada periode yang sama sebesar Rp. 2,5 milyar lebih. Untuk mempermudah pengelolaan dana dan sebagai penyangga likuiditas, maka dari beberapa BTM membentuk koperasi sekunder berupa berupa Pusat KSP BTM Wiradesa. Untuk menghindari perebutan nasabah (anggota) maka ada klasifikasi ukuran pinjaman. Untuk pinjaman sampai dengan 30 juta hanya dapat dilayani di koperasi primer dan Rp. 30 Juta ke atas dilayani di koperasi sekunder. Sistem peminjaman dana dari koperasi sekunder ke koperasi primer ada dua yaitu : sistem channeling dan sistem sindikasi. Perbedaannya adalah sistem channeling 100% dana pinjaman berasal dari koperasi sekunder dengan bagi hasil 20% bagi hasil keuntungan untuk koperasi primer dan 80% untuk koperasi sekunder, sedangkan sistem sindikasi dana pinjaman tidak 100% dari koperasi sekunder, namun terbagi antara koperasi sekunder dan koperasi primer dengan proporsi pinjaman tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama. Pembagian keuntungan diberikan sesuai dengan besarnya proporsi jumlah pinjaman .
3. Kasus Pemusatan Kerjasama Koppontren Al-Ishlah dengan Bank di Kabupaten Cirebon
USP Swamitra adalah lembaga keuangan mikro yang didirikan atas kerjasama saling menguntungkan antara Bank Bukopin dengan koperasi untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah. Melalui kerjasama ini USP atau KSP dapat beroperasi secara modern dengan memanfaatkan jaringan teknologi dan dukungan sistem manajemen yang telah dikembangkan oleh Bank Bukopin. Swamitra Al-Ishlah dibentuk pada Desember 1998 sebagai hasil kerjasama antara Koppontren Al-Ishlah dengan Bank Bukopin Cabang Cirebon. Swamitra Al-Ishlah berada di desa Dukupuntang, Bobos, Cirebon dan melayani nasabah-nasabah di wilayah Palimanan, Sumber hingga Rajagaluh yang radiusnya sekitar 17 km dari pusat kegiatan di Pasar Kramat, Bobos. Kemudian pada pertengan 1999, Swamitra Al-Ishlah resmi beroperasi. Pada saat itu dana yang disalurkan untuk Kredit Koperasi Kepada Anggota (KPPA) sebesar Rp. 350 juta. Pinjaman tersebut berjangka satu tahun dan berbunga 16% setahun dan harus disalurkan kepada anggota koperasi tanpa bunga. Sebagai penyalur, Swamitra Al-Ishlah juga tidak mengenakan bunga, tetapi menarik biaya sebesar 3% yang dipungut saat pencairan kredit. Sumber dana Swamitra A-Ishlah yang lain adalah modal tidak tetap dari Bank Bukopin dengan alokasi sebesar Rp. 500 juta. Sumber dana yang lainnya adalah simpanan masyarakat yang jumlahnya dalam tahun pertama saja melebihi alokasi dari Bank Bukopin. Ini menunjukkan keberhasilan Swamitra Al-Ishlah dalam menggalang dana masyarakat. Keberhasilan ini berkat kerjasama antara pengelola Swamitra, pengurus Koppontren dan Bank Bukopin dalam mempromosikan Swamitra di Majlis Taklim.
4. Alternatif Model Pemusatan
Dengan memperhatikan perkembangan koperasi di lapangan, model kelembagaan pemusatan koperasi dapat berupa kerjasama antar koperasi primer dengan pola waralaba (franchising), koperasi sekunder, kerjasama koperasi sekunder dengan bank, kerjasama koperasi primer dengan bank dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
1) Model Kerjasama antar Koperasi Primer dengan Pola Waralaba
Model pengembangan koperasi seperti yang terjadi pada kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati merupakan suatu pola kerjasama antar koperasi primer. Walaupun merupakan suatu pola kerjasama yang menjadikan kelompok koperasi bhakti dikembangkan dan dikelola secara tertib dan terkoordinasi, namun antar koperasi dalam kelompok koperasi bhakti tidak memiliki kontrak kerjasama secara eksplisit. Koordinasi pengelolaan dan pengembangan terjadi berkat adanya standarisasi dan sinkronisasi pengelolaan dan bahkan terdapat suatu kesatuan komando dalam pengelolaan dan pengembangan koperasi. Potensi keunggulan model kerjasama antar Koperasi seperti Kelompok Koperasi Bhakti sebagai suatu pola atau kelembagaan pemusatan pengembangan pembiayaan antara lain sebagai berikut :
(1) Standarisasi dan sinkronisasi dapat lebih mudah dilakukan dengan standarisasi karyawan dan standarisasi sistem dan prosedur, serta sinkronisasi atau kesatuan komando manajemen.
(2) Pengembangan koperasi baru relatif lebih mudah dilakukan dengan adanya karyawan terlatih yang siap ditugaskan pada koperasi baru.
(3) Dengan karyawan yang terlatih dan aktif jemput bola maka memungkinkan penetrasi perluasan anggota yang berarti perluasan pasar dan peningkatan pangsa pasar.
(4) Walaupun antar Koperasi Bhakti terdapat standarisasi dan sinkronisasi manajemen, masing-masing koperasi sepenuhnya dimiliki oleh anggotanya yang sebagian besar berada pada sekitar koperasi berada.
(5) Keterbatasan Bhakti menganut keanggotaan secara terbuka dan sukarela sehingga memungkinkan loyalitas anggota secara alami dan berkelanjutan serta sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi.
(6) Mengingat memiliki catatan kinerja baik (track record) yang cukup panjang dan memiliki brand name yang cukup dikenal, pola koperasi bhakti memiliki peluang sebagai suatu sistem waralaba manajemen koperasi simpan pinjam yang dapat diaplikasikan pada pengembangan koperasi simpan pinjam.
2) Model Koperasi Sekunder
Dengan pola koperasi sekunder pada dasarnya seluruh kegiatan yang diperlukan untuk mendukung pengembangan koperasi primer dilakukan oleh koperasi sekunder secara berjenjang dari tingkat daerah, wilayah, nasional dan internasional. Fungsifungsi kegiatan pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan meliputi bidang keuangan yang terdiri atas penghimpunan dan penyaluran dana melalui silang pinjam (interlanding) dan pengelolaan resiko maupun bidang non jasa keuangan yang terdiri atas konsultasi manajemen simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit, pengadaan sarana usaha dan audit. Keungulan koperasi sekunder sebagai model pemusatan pengembangan koperasi adalah :
(1) Struktur dan sistemnya telah tersedia, baik secara lokal, nasional maupun internasional sehingga tinggal masalah penerapan.
(2) Penerapan koperasi sekunder sebagai model pemusatan lebih menjamin penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, sehingga lebih menjamin terwujudnya cita-cita koperasi yaitu peningkatan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi anggota koperasi.
3) Model Bank Perkreditan Rakyat Pemusatan pengembangan koperasi dengan model Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) terutama dimaksudkan agar memiliki kemampuan atau keleluasaan yang lebih besar dalam penghimpunan dana masyarakat dan sekaligus keleluasaan dalam penyaluran dana. Dengan bentuk BPR, sebagai bank, memiliki kewenangan untuk menghimpun dana ke masyarakat, tidak hanya kepada anggotanya. Keunggulan BPR sebagai model pemusatan pengembangan koperasi antara lain adalah :
(1) Memiliki kepercayaaan kemampuan yang efektif dan dalam menghimpun dana baik dana dari masyarakat, maupun dana dari lembaga keuangan sebagai konsekuensi bentuknya berupa bank.
(2) Merupakan sarana yang legal dan sehat untuk menyalurkan dana kepada masyarakat, terutama apabila koperasi anggota atau pemegang saham dalam keadaan kelebihan dana.
(3) BPR yang harus mengikuti ketentuan perbankan yang ketat dapat menjadi referensi yang baik dalam mengembangkan tata kelola yang baik (good corporate governance) bagi koperasi yang dikembangkan.
4) Model Kerjasama Koperasi Sekunder dangan Bank
Model kerjasama koperasi sekunder dengan bank umum adalah sebagaimana yang terjadi pada koperasi-koperasi di lingkungan pegawai negeri, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Bank Kesejahteraan Ekonomi. Dalam hal ini induk-induk koperasi tersebut sperti KPRI, Inkopad, Inkopau, Inkopal, dan Inkopol mengadakan kerjasama dalam penyaluran dana dari Bank Kesejahteraan Ekonomi untuk anggota-anggota koperasi. Keunggulan model ini adalah :
(1) Ketersediaan dana yang diperlukan oleh anggota koperasi dari Bank Kesejahteraan Ekonomi.
(2) Kemampuan penghimpunan dana masyarakat maupun dana dari lembaga keuangan lain melalui Bank Kesejahteraan Ekonomi.
5) Model Kerjasama Koperasi Primer dengan Bank Pola Swamitra Kerjasama koperasi primer dengan bank Bukopin dalam bentuk pola Swamitra merupakan model pemusatan kegiatan pengembangan koperasi dengan kerjasama koperasi primer dengan bank. Dengan pola ini, Bukopin menyediakan sistem dan aplikasi manajemen simpan pinjam koperasi, termasuk pengadaan dan pelatihan sumberdaya manusia, aplikasi teknologi informasi, sistem manajemen operasi simpan pinjam, pendampingan dan supervisi simpan pinjam dan standarisasi produk simpanan
dan pinjaman, serta cadangan likuiditas koperasi simpan pinjam. Keunggulan pemusatan pengembangan koperasi dengan model kerjasama antar koperasi primer dan bank pola Swamitra, antara lain :
(1) Terdapat paket dukungan pengembangan KSP/USP secara lengkap sehingga memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
(2) Terdapat sistem supervisi dan pengendalian secara seketika (on line) oleh bank.
(3) Terdapat jaminan cadangan likuiditas yang disediakan secara bertingkat, baikdi koperasi maupun di bank.
(4) Terdapat standarisasi sistem dan produk sehingga lebih memungkinkan dikembangkan jaringan kerjasama.
(5) Memiliki kredibilitas yang tinggi dalam penghimpunan dana berkat dukungan citra bank pendukungnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
(1) Sentra-sentra usaha yang dipandang perlu sebagai sentra usaha unggulan adalah berupa sentra usaha yang bergerak di bidang pertanian, industri makanan dan minuman, industri kerajinan, industri kerajinan tekstil dan konveksi rakyat. Sebagian dari pengusaha dalam sentra tersebut berupa usaha mikro, yang memiliki kesamaan bahan baku atau teknologi dan tidak melakukan kegiatan pemasaran bersama atau pengadaan bahan baku bersama.

(2) Kebutuhan pembiayaan usaha dalam sentra pada dasarnya lebih tepat dipenuhi oleh lembaga keuangan mikro seperti koperasi simpan pinjam, karena kebutuhan dana berskala kecil dan sendiri-sendiri.

(3) Kegiatan pemusatan pengembangan koperasi dalam bidang pembiayaan meliputi jasa keuangan dan jasa non keuangan meliputi konsultasi manajemen simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit, pengadaan
sarana usaha dan advokasi.

(4) Alternatif model pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada tingkat Kabupaten/Kota adalah :
(a) kerjasama antar koperasi dengan pola waralaba,
(b) koperasi sekunder,
(c) kerjasama koperasi sekunder dengan
bank,
(d) Bank Perkreditan Rakyat,
(e) kerjasama koperasi primer dan bank dengan pola Swamitra.

2. Saran
Model pemusatan pengembangan koperasi di suatu Kabupaten/Kota tidak harus dalam bentuk satu model, dapat terdiri atas dua model tersebut diatas dengan maksud agar dapat mempertahankan ciri masing-masing keunggulannya.

DAFTAR PUSTAKA
______, 2003. Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.
Arief, Sirtua, 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia : Pemberdayaan Rakyat dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung.
Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan terhadap Sektor Pertanian : Suatu Telaah Ekonomi Politik. Dalam : Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan Restrukturisasi Pertanian. PERHEPI. Jakarta.
INFOKOP. 2002. Koperasi Menuju Otonomisasi. Jakarta.
Korten, David C., 1980. Community Organization and Rural Development : A Learning Process Approach. Dalam Public Administration Review, No.40.
Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2002. Kemiskinan Tanggung Jawab Siapa?.
Jakarta.
Krisnamurthi, B., 2003. Analisis Grand Strategy Pembangunan Pertanian : Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis dan Implementasi Pembangunan Pertanian. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Evaluasi Kinerja
Pembangunan Pertanian. Jakarta.
Prijadi, dkk. 2002. Pengembangan KSP dan USP Koperasi sebagai Lembaga Keuangan. Yayasan Studi Perkotaan. Jakarta.
Soetrisno, N. 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. STEKPI. Jakarta.
Wibowo, R. 1999. Refleksi Teori Ekonomi Klasik dalam Manajemen Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian pada Milenium Ketiga. Dalam Refleksi Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.


RESENSI DAN REFERENSI KARYA ILMIAH DI ATAS:
RESENSI
Jurnal pengkajian koperasi dan UKM tahun 2002 yang berjudul “ PENGKAJIAN PEMUSATAN PENGEMBANGAN KOPERASI BIDANG PEMBIAYAAN PADA TINGKAT KABUPATEN/KOTA “ yang merupakan Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Pengembangan Pengelolaan Wirausaha-Universitas Indonesia (BPPWI-UI) Tahun 2004 (diringkas oleh : Triyono dan Siti Aedah) yang melekukan penelitian di 20 propinsi yaitu : Sumut, Jatim, Bali, Sulut, Sumbar, Sultra, Kalteng, Kaltim, Sumsel, Bengkulu, Riau, NTT, NTB, Babel, Sulsel, Kalbar, Sulteng, Jabar, Jateng dan Kalsel.
Penelitian ini dilakukan dengan menilai beberapa kasus yang ada saat ini, antara lain : 1). Kasus Kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah; 2). Kasus KSP BTM (Baitul Tamwil Muhammadiyah) di Kabupaten Pekalongan; 3). Kasus Pemusatan Kerjasama Koppontren Al-Ishlah dengan Bank di Kabupaten Cirebon
Dengan memperhatikan perkembangan koperasi di lapangan, model kelembagaan
pemusatan koperasi dapat berupa kerjasama antar koperasi primer dengan pola waralaba
(franchising), koperasi sekunder, kerjasama koperasi sekunder dengan bank, kerjasama
koperasi primer dengan bank dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Setiap koperasi mempunyai kerjasama yang berbeda – beda, dalam kajian ini di beberapa koperasi menggunakan model kerjasama :
1) Model Kerjasama antar Koperasi Primer dengan Pola Waralaba
2) Model Koperasi Sekunder
3) Model Bank Perkreditan Rakyat
4) Model Kerjasama Koperasi Sekunder dangan Bank
5) Model Kerjasama Koperasi Primer dengan Bank Pola Swamitra
REFERENSI
______. 2003. Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian
Koperasi dan UKM, Jakarta.
Arief, Sirtua. 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia : Pemberdayaan Rakyat
dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung.
Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan terhadap Sektor Pertanian : Suatu
Telaah Ekonomi Politik. Dalam : Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan
Restrukturisasi Pertanian. PERHEPI, Jakarta.
INFOKOP. 2002. Koperasi Menuju Otonomisasi, Jakarta.
Korten, David C. 1980. Community Organization and Rural Development : A Learning Process Approach. Dalam Public Administration Review.
Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2002. Kemiskinan Tanggung Jawab Siapa?, Jakarta.
Krisnamurthi, B. 2003. Analisis Grand Strategy Pembangunan Pertanian :
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis dan Implementasi Pembangunan
Pertanian. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Evaluasi Kinerja
Pembangunan Pertanian, Jakarta.
Prijadi, dkk. 2002. Pengembangan KSP dan USP Koperasi sebagai Lembaga Keuangan. Yayasan Studi Perkotaan, Jakarta.
Soetrisno, N. 2003, Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. STEKPI, Jakarta.
Wibowo, R. 1999. Refleksi Teori Ekonomi Klasik dalam Manajemen Pemanfaatan
Sumberdaya Pertanian pada Milenium Ketiga. Dalam Refleksi Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar